Selasa, 26 April 2011

Pendidikan di Indonesia


Pendidikan di Indonesia

Membicarakan hal yang satu ini mungkin tidak akan habis-habisnya. Ya, dengan keadaan yang ada sekarang ini, ditandai dengan demo di sejumlah tempat yang pada dasarnya menuntut pendidikan murah. Tapi saya tidak ingin menulis tentang demo tersebut. Saya hanya ingin menceritakan beberapa keluhan handai taulan (bahkan sampai berdebat kusir hehehe) tentang pendidikan ini.

Salah satu teman saya, agak berang, bilang “Masak sudah sudah ada BOS, kita masih harus bayar Rp. 15.000 per bulan? Di SD lainnya kok enggak bayar lagi.”. Kebetulan memang anaknya berada di SD Negeri 2, dimana ada 3 SDN dalam satu lingkungan sekolah.
Saya coba jadi counter-nya, “Mungkin di SDnya banyak ekstra kurikuler. Sudah cek atau belum? Ada komputer atau enggak?”.
Dia langsung menyanggah, “Ah enggak ada kayak gituan. sama aja!”
Akhirnya lama berdebat, bahkan ditambah satu orang lagi. Cuma jadi kemana-mana buntutnya. Menuduh KepSek korupsi, Guru korupsi, Masya Allah. Setelah lama berdebat, disimpulkan bahwa sebagian dana anggaran orang tua tadi digunakan untuk perbaikan WC, prasarana gedung, tiang bendera, biaya mencat pagar dan lain-lain.
Akhirnya, saya merasa menyadari ada ketidak-adilan disini. Kalau sudah tidak adil, pasti melanggar Pancasila, “Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”. Kita bisa bandingkan SD Negeri di tengah kota dengan SD Negeri di kampung. Terasa sekali ketimpangan sosial antara kedua SD tersebut. Berita hari ini, ada satu SDN yang roboh.
Menurut ‘mata-adil’ saya, seharusnyalah setiap Sekolah Negeri di negeri ini mempunyai prasarana yang sama, baik dipedalaman Papua sana, atau yang berada di pusat kota Jakarta. Tidak boleh dibedakan. Karena ini Sekolah Negeri (atau Sekolah miliknya negara), maka tidak boleh juga menerima sumbangan dari pihak lain. Mutlak harus dibiayai negara.
Perbedaan Uang Pangkal juga menjadi pertanyaan. Kok, sama sama sekolah negeri uang pangkal berbeda? Tiap sekolah pasti punya jawaban (atau alasan) mengapa mereka menarik uang pangkal sedemikian besar. Uang sejenis inipun harus ditiadakan untuk sekolah Negeri. Alasannya sama dengan di atas, tidak boleh ada perbedaan antar sekolah negeri.
Tentu lain halnya dengan sekolah swasta, yang sah-sah saja menerima sumbangan dari pihak manapun.
Saya tidak tahu keadaan makro dari Anggaran Belanja Negara untuk pendidikan yang konon terlalu kecil. Saya juga tidak mengetahui kondisi dana subsidi Minyak (yang jadi BOS).
“Kaca mata” saya mungkin perlu diperbaiki, untuk menentukan apakah cukup adil kondisi di atas. Apakah benar pendapat saya, bahwa setiap Sekolah Negeri harus memiliki prasarana yang sama? Saya sendiri masih belum yakin. :)

Selamat Hari Pendidikan Nasional!

http://www.sunaryohadi.info/pendidikan-di-indonesia.htm

KOMITMEN UNTUK MEMBANGUN PENDIDIKAN KARAKTER

HARDIKNAS 2011 : KOMITMEN UNTUK MEMBANGUN PENDIDIKAN KARAKTER

(Kominfo-Newsroom) – Peringatan Hari Pendidikan
Nasional (Hardiknas) tahun 2011 dijadikan sebagai momentum untuk
merevitalisasi pendidikan karakter, itu sebabnya tema besar yang
diusung adalahPendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban
Bangsa.
Tema itu relevan dengan kondisi kekinian yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat saat ini, kata Sekretaris Panitia
Hardiknas 2011, Bambang Indriyanto, saat memberikan keterangan pers
tentang Hardiknas di Gerai Informasi Media (GIM),
Saat memberikan penjelasan, ia antara lain didampingi Staf
Khusus Mendiknas Bidang Media Sukemi dan Kabid Humas Kemendiknas
Setiono.
Menurut Bambang, pada peringatan Hardiknas 2011 yang acara
puncaknya akan dilaksanakan di Istana Negara Jakarta, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono akan mencanangkan Grand Desain mengenai
Program Pembangunan Karakter sebagai program nasional yang
akansecara serentak dilakukan oleh beberapa kementerian dan lembaga
negara.
Ia mengatakan, pendidikan dan pembangunan karakter atau
pembangunan watak (character building) sangat penting, karena
pemerintah berkeinginan untuk membangun manusia Indonesia yang
berakhlak, berbudi pekerti dan berperilaku baik, dengan harapan di
masa depan, bangsa Indonesia bisa memiliki peradaban yang unggul
dan mulia.
Menurut Bambang, bangsa yang berkarakter unggul, di samping
tercermin dari moral, etika dan budi pekerti yang baik, juga
ditandai dengan adanya semangat, tekad dan energi yang kuat, dengan
pikiran yang positif, sikap yang optimis, memiliki rasa
persaudaraan, persatuan dan kebersamaan yang tinggi.
“Totalitas dari karakter bangsa yang kuat dan unggul bisa
meningkatkan kemandirian dan daya saing bangsa menuju Indonesia
yang maju, bermartabat dan sejahtera di abad 21,” katanya.
Sementara itu Staf Khusus Mendiknas Bidang Media, Sukemi,
mengatakan, peringatan Hardiknas 2011 akan ditandai dengan upacara
bendera pada Senin, 2 Mei 2011, di halaman Gedung Kemendiknas,
dengan pembina upacara Mendiknas Mohammad Nuh dan di seluruh kantor
dinas diknas provinsi, kabupaten/kota dan lembaga pendidikan
tinggi.
“Paca acara Hardiknas, Mendiknas akan menyematkan Satya Lencana
Karya Satya kepada 111 pegawai di lingkungan Kemendiknas yang
mempunyai dedikasi dan loyalitas tinggi dengan masa kerja 10 hingga
30 tahun,” katanya.
Mereka adalah 37 pegawai dengan masa bakti 30 tahun, 56 pegawai
dengan masa bakti 20 tahun dan 18 pegawai dengan masa bakti 10
tahun.
Seusai upacara, katanya,Mendiknas akan menandatangani MoU dengan
PT Global Mediacom dan soft launching siaran televisi yang khusus
didedikasikan untuk pendidikan keterampilan melalui saluran
terbatas, dengan nama program”TV Citra Indonesia Terampil.
“Acara lain adalah penyerahan arsip Kemendiknas kepada Kepala
Arsip Nasional, penandatanganan prasasti peresmian TBM@MALL atau
Taman Bacaan Masyarakat di mal),” katanya.
Menurut dia, peringatan Hardiknas 2011 juga akan diisi berbagai
kegiatan yang bersifat akademis dan sosial kemasyarakatan, di
antaranya lomba karya ilmiah, pameran hasil-hasil pendidikan,
pemberian penghargaan, pemberian beasiswa, olah raga, festival
seni, bakti sosial, dan ziarah ke taman makam pahlawan.
Kegiatan-kegiatan itudiharapkan dapat memacu dan memotivasi
peserta didik, tenaga kependidikan dan warga masyarakat untuk
meningkatkan prestasi dan dedikasinya di bidang pendidikan, kata
Sukemi. (T.Ad/ysoel)
Sumber : Depkominfo…


http://kabar.in/2010/indonesia-headline/rilis-berita-depkominfo/04/28/hardiknas-2010-komitmen-untuk-membangun-pendidikan-karakter.html

Senin, 25 April 2011

Peringatan Hari Pendidikan 2011

 Peringatan Hari Pendidikan 2011

Pada, tanggal 2 Mei, adalah hari peringatan HARDIKNAS (Hari Pendidikan Nasional). Saya ucapkan selamat bagi kita semua. Bangsa Indonesia diharapkan dapat berkembang melalui pendidikan.
Kita sudah bertahun tahun merayakan Hardiknas. Tapi, apakah Anda sudah tau kenapa Hardiknas diperingati setiap tanggal 2 Mei ?

Sekedar mengingatkan kembali kepada semua. Bahwa tanggal 2 Mei adalah tanggal kelahiran Ki Hajar Dewantara.
Yap, beliau adalah pahlawan pendidikan kita. Disaat anak anak kurang mampu tidak bisa bersekolah (pada masa penjajahan), beliau bersedia mengajar anak anak yang kurang mampu, dengan tujuan mencerdaskan anak bangsa. Bukan hanya kaum bangsawan.

Begitu berjasanya beliau, sehinggal tanggal kelahirannya dijadikan sebagai tanggal peringatan Hardiknas.
OK, sekian posting kali ini.
 


Selamat Hardiknas dan maju terus pendidikan Indonesia !

Catatan Hari Pendidikan Nasional

Catatan Hari Pendidikan Nasional

Pada tanggal 2 Mei tepatnya adalah hari Pendidikan Nasional. Hari dimana lahirnya pendidikan di Indonensia. Tanggal 2 Mei dijadikan sebagai hari Pendidikan Nasonal bertepatan dengan hari lahirnya salah satu tokoh pendidkan kita yaitu Ki Hajar Dewantar dengan nama asli: Raden Mas Soewardi. Mengulas sedikit tentang perjuangan untuk memajukan pendidkan di bumi Indonesia, beliau sempat mendirikan salah satu taman siswa pada 3 Juli 1922 untuk sekolah kerakyatan di Yogyakarta. Kemudian beliau juga sempat menulis berbagai artikel yang intinya memprotes berbagai kebijakan para penjajah (belanda) yang kadang membunuh serta menghambat tumbuh dan berkembangnya pendidikan di Indonesia. Hingga salah satu artikel "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli : Als ik eens Nederlander was) yang pernah dimuat dalam surat kabar de Expres milik Douwes Dekker tahun 1913 adalah salah satu artikel yang mengubah paradigma banyak orang terlebih khusus para penjajah bahwa orang Indonesia khususnya penduduk pribumi membutuhkan pendidikan yang layaknya sama dengan para penguasa dan kalangan berduit.
Bertolak dari usaha, kerja keras serta pengorbanan dirinya melalui surat keputusan Presiden RI No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959 dinobatkan sebagai salah satu Pahlawan Pergerakan Nasional. Bahkan yang lebih menggembirakan dirinya di anggap sebagai bapak Pendidikan untuk seluruh orang Indonesia, penghormatan itu terbukti dengan ditetapkan 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Untuk mewujudkan dan membangun dunia pendidikan di Indonesia yang sedang diusahaknnya dalam penjajahan para penjajah belanda beliau memakai semoboyan “tut wuri handayani” semboyan ini berasal dari ungkapan aslinya "ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa”. Semboyan ini masih dipakai dalam di dunia pendidikan kita hingga era reformasi ini. Bahkan dengan semboyan itu telah sedikit mengubah warna pendidikan kita di Indoenesia saat ini.


"SALAM PENDIDIKAN"

 


http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=7998

Minggu, 24 April 2011

Makna Hardiknas 2011

 
Makna Hari Penddikan 2011

Tanggal 2 Mei tepatnya adalah hari Pendidikan Nasional. Hari dimana lahirnya pendidikan di Indonensia. Tanggal 2 Mei dijadikan sebagai hari Pendidikan Nasonal bertepatan dengan hari lahirnya salah satu tokoh pendidkan kita yaitu Ki Hajar Dewantara dengan nama asli: Raden Mas Soewardi. Mengulas sedikit tentang perjuangan untuk memajukan pendidikan di bumi Indonesia, beliau sempat mendirikan salah satu taman siswa pada 3 Juli 1922 untuk sekolah kerakyatan di Yogyakarta. Kemudian beliau juga sempat menulis berbagai artikel yang intinya memprotes berbagai kebijakan para penjajah (Belanda) yang kadang membunuh serta menghambat tumbuh dan berkembangnya pendidikan di Indonesia.
Bertolak dari usaha, kerja keras serta pengorbanan dirinya melalui surat keputusan Presiden RI No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959 dinobatkan sebagai salah satu Pahlawan Pergerakan Nasional. Bahkan yang lebih menggembirakan dirinya di anggap sebagai Bapak Pendidikan untuk seluruh orang Indonesia, penghormatan itu terbukti dengan ditetapkan 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Untuk mewujudkan dan membangun dunia pendidikan di Indonesia yang sedang diusahaknnya dalam penjajahan para penjajah Belanda beliau memakai semoboyan “Tut Wuri Handayani” semboyan ini berasal dari ungkapan aslinya “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa”. Semboyan ini masih dipakai dalam dunia pendidikan kita hingga era reformasi ini. Bahkan dengan semboyan itu telah sedikit mengubah warna pendidikan kita di Indonesia saat ini.
Hari Pendidikan Nasional Tanggal 2 Mei 2011 mempunyai arti penting dalam kancah pendidikan nasional Indonesia. Memasuki abad 21 ini, pendidikan mempunyai arah tujuan yang jelas, yaitu memartabatkan manusia Indonesia di kancah internasional. Begitu juga baru saja bagi siswa-siswa SMA / MA, SMK, SMP/MTs dan di susul siswa SD/MI melaksanakan ujian nasional serta UASBN. Namun begitu, pendidikan di negeri ini belum beranjak melaju pesat menuju mutu yang memuaskan. Bila mau menengok ke belakang, ketika kemarin usai melaksanakan Ujian Nasional pada pelajaran matematika bagi siswa SMA/MA/SMK, raut wajah mereka banyak mengalami kekhawatiran akan hasil yang di capai dalam ujian tersebut. Harus seperti apakah yang bisa dilaksanakan oleh instuisi pendidikan kita? Apakah ini merupakan proses belajar yang salah ataukah kurang bergairahnya para siswa dalam mengikuti proses pendidikan setiap hari sehingga dikatakan gagal dalam pendidikan ?
Kembali lagi tentang hari Pendidikan Nasional, bahwa permasalahan lemahnya semangat para siswa harus disikapi secara serius oleh semua pihak baik para orang tua siswa, para teknisi pendidikan dan pemerintah. Ada baiknya duduk dalam satu meja untuk mencari solusi yang tepat dalam memajukan pendidikan nasional. Apabila di ajak secara langsung membahas tentang hal itu, lebih baik dan masingmasing mempunyai rasa tanggung jawab untuk menjawab tantangan bangsa ini ke depan dalam membangun pendidikan Indonesia yang lebih maju, bermartabat dan setara dengan bangsa lain dalam ilmu pengetahuan.
>- Keluarga Besar UKM Pramuka Unila Mengucapkan -<

” Selamat Hari Pendidikan”

” Bertekad Untuk Memajukan Bangsa Indonesia Melalui Jalur Pendidikan “

 http://pramukaunila.wordpress.com/2010/02/26/makna-hari-pendidikan-nasional/

SEJARAH DIPERINGATINYA HARDIKNAS

                   SEJARAH DEPERINGATINYA HARDIKNAS

HARI Pendidikan Nasional (Hardiknas), yang diperingati , bertepatan dengan 2 Mei 20011 akan disambut dengan penuh suka cita, terkhusus bagi mereka yang bergelut di dunia pendidikan, mulai dari pendidikan dasar, menengah hingga pendidikan tinggi. Mengapa? Dunia pendidikan adalah awal dari semua kebangkitan. Kebangkitan mampu dikokohkan hanya dengan pendidikan. Dalam sejarah panjang perjalanan kehidupan, telah diuraikan dalam filsafat, betapa pendidikan harus ditegakkan oleh para filsuf raja bila suatu negara yang dipimpimpinnya ingin ditumbuhkan dan disejahterakan sisi-sisi kehidupan warganya.
Bagi bangsa Indonesia, Hardiknas memang tidak terlepas dari peringatan hari lahirnya bapak pendidikan kita Ki Hajar Dewantara, yang jangankan orang dewasa, anak Sekolah Dasar pun pasti tahu dan paham. Selama ini, kesan seremoni dalam peringatan Hardiknas memang sangat menonjol. Mulai dari kumpul di sebuah lapangan, rela berpanas-panasan, nyanyi-nyanyi, dengarkan pidato, selanjutnaya bubar. Tidak jelas, apa hakikat makna di balik peringatan Hardiknas tersebut.
Hardiknas memang identik dengan sosok Ki Hajar Dewantara atau yang lebih dikenal dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, yang sangat berjasa dalam memperjuangkan dunia pendidikan Indonesa sejak masa kolonial Belanda. Begitu pentingnya sosok yang satu ini, hampir setiap ada ujian sejarah, dipastikan ada pertanyaan tentang sosok Ki Hajar. Bahkan namanya diabadikan sebagai salah satu sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara, serta semboyannya yang paling terkenal yaitu "tut wuri handayani" yang selalu tertempel di topi, dasi, dan tidak jarang juga di dada setiap siswa siswi Indonesia dari SD sampai SMU
Hardiknas tahun ini jangan dinodai dengan perbuatan yang tidak terpuji. Di pundak gurulah mestinya terpatri keteladanan, tidak terkecuali para guru, dan teristimewa diri pribadi Kepala Sekolah Dasar Negeri Donggala Kodi. Hanya dengan kejujuran dan keterbukaan, menjadi kunci satu-satunya menghindari dugaan, kecurigaan, dan juga tuduhan dari para guru lainnya. Mestinya, dalam penggunaan dana BOS jangan dilakukan secara bisik-bisik antara Kepala Sekolah dengan guru yang dianggap sama cara berpikirnya saja. Ajak semua, agar jangan ada di antara mereka yang menjadi stimulan dalam membuat gerakan yang pada akhirnya menghambat kelancaran proses belajar mengajar. Dan, ini jelas menjadi noda dan nokta menyongsong datangnya Hardiknas yang akan diperingati pada 2 Mei 2011, sekaligus pengingkaran atas julukan Guru sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.

"SALAM PENDIDIKAN"

http://landry-putra.blogspot.com/2009/05/sejarah-deperingatinya-hardiknas-hari.html

Sabtu, 23 April 2011

Pendidikan Karakter dan Hardiknas 2011

Pendidikan Karakter dan Hardiknas 2011

 Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh pada 2 Mei tahun ini mengambil tema “Pendidikan Karakter untuk Membangun Keberadaban Bangsa”. Sebuah tema strategis yang memang amat kontekstual dengan situasi kekinian yang dinilai makin abai terhadap persoalan-persoalan akhlak dan budi pekerti. Degradasi moral dan involusi budaya telah menjadi fenomena rutin yang makin menenggelamkan kemuliaan dan martabat bangsa. Perilaku kekerasan, vandalisme, korupsi, dan berbagai perilaku tidak jujur lainnya telah menjadi sebuah kelatahan kolektif. Untuk mendapatkan harta, pangkat, jabatan, dan kedudukan tak jarang ditempuh dengan cara-cara curang ala Machiavelli, bahkan jika perlu menggunakan ilmu permalingan dan berselingkuh dengan dunia klenik dan mistik. Tak ayal lagi, negeri ini tak lebih dari sebuah pentas kolosal yang menyuguhkan repertoar tragis, pilu, dan menyesakkan dada.
Dalam situasi demikian, bangsa dan negeri yang besar ini perlu diingatkan kembali pada nilai-nilai genuine yang secara historis telah membuat kesejatian diri bangsa menjadi lebih terhormat dan bermartabat. Tanpa bermaksud untuk tenggelam ke dalam romantisme masa silam, yang jelas bangsa kita perlu belajar pada nilai-nilai kearifan lokal masa silam sebagai basis perilaku untuk memasuki pusaran arus global yang makin rumit dan kompleks sehingga bangsa kita sanggup menjadi bangsa yang maju dan modern tanpa harus kehilangan pijakan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Negeri kepulauan yang memiliki kemajemukan dalam soal etnis, bahasa, budaya, ras, dan berbagai kekuatan primordial lainnya itu sejatinya bisa membangun sebuah kesenyawaan peradaban yang menggambarkan mosaik keindonesiaan yang toleran, demokratis, bermartabat, berbudaya, dan beradab.
Namun, secara jujur mesti diakui, 65 tahun hidup merdeka, bangsa kita justru kian tenggelam dalam cengkeraman budaya pragmatis, instan, dan bar-bar, yang dinilai telah gagal memerdekakan manusia dari kemiskinan dan keterbelakangan. Di tengah capaian pembangunan yang demikian pesat secara lahiriah, rohaniah bangsa kita justru kering-kerontang; tak sanggup membebaskan diri dari ketertindasan dan kesewenang-wenangan. Merebaknya perilaku tak beradab, seperti korupsi, penggusuran, main hakim sendiri, dan berbagai aksi kekerasan lainnya bisa menjadi bukti bahwa bangsa kita belum sepenuhnya bisa hidup merdeka. Pekik “merdeka!” hanya lantang diucapkan di atas mimbar dan podium orasi. Realitas yang terjadi justru sebaliknya. Masih banyak warga bangsa yang harus mengais rezeki dari tong-tong sampah, tidur di emper-emper toko, dan harus main kucing-kucingan dengan Satpol PP ketika mereka mencari peruntungan di trotoar atau alun-alun kota. Dengan dalih menjaga ketertiban dan kenyamanan kota, elite negeri ini rela berbuat biadab terhadap sesamanya dengan menggusur dan menistakan rakyat kecil yang hidup susah dan terlunta-lunta.
Merebaknya aksi-aksi kekerasan dan vandalisme di atas panggung sosial negeri ini sesungguhnya tak bisa dilepaskan dari karakteristik kekuasaan yang (nyaris) tak pernah berpihak kepada “wong cilik”. Hukum hanya menjadi milik mereka yang memiliki uang dan kekuasaan. Melalui “hamba-hamba” hukum yang bisa mereka ajak untuk berselingkuh dan kongkalingkong, mereka bisa dengan mudah melakukan rekayasa kasus agar perilaku korup dan jahat yang mereka lakukan tak tersentuh oleh hukum. Sebaliknya, rakyat kecil yang tak berdaya bisa dengan mudah diperdayai dan dijebloskan ke penjara hanya karena maling coklat, kapuk randu, atau semangka, yang hanya sekadar dijadikan sebagai alat pengganjal perut. Akumulasi kekecewaan dan rasa tidak puas terhadap karakteristik kekuasaan yang semacam itu, disadari atau tidak, telah menumbuhkan semangat kolektif untuk melakukan “perlawanan” dengan melakukan aksi-aksi jalanan yang tak jarang menimbulkan situasi chaos dan berdarah-darah.
Di tengah situasi masyarakat yang chaos dan berdarah-darah semacam itu, pendidikan yang menjadi basis dan kawah candradimuka peradaban, jelas menghadapi tantangan yang makin rumit dan kompleks. Dunia pendidikan tak hanya dituntut untuk mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa didik, tetapi juga harus mampu menjalankan peran dan fungsinya untuk menaburkan, menanamkan, menyuburkan, dan sekaligus mengakarkan nilai-nilai akhlak dan budi pekerti, sehingga keluaran pendidikan benar-benar menjadi sosok yang “utuh” dan “paripurna”; menjadi pribadi yang berkarakter jujur, rendah hati, dan responsif terhadap persoalan-persoalan kebangsaan.
anak bangsaSetidaknya, ada tiga hal penting dan mendasar yang perlu segera diagendakan agar pendidikan karakter benar-benar bisa diimplementasikan ke dalam institusi pendidikan kita. Pertama, membangun keteladanan elite bangsa. Sudah bertahun-tahun lamanya, semenjak rezim Orba berkuasa, negeri ini telah kehilangan sosok negarawan yang bisa menjadi teladan dan anutan sosial dalam perilaku hidup sehari-hari. Kaum elite kita, diakui atau tidak, hanya pintar ngomong di atas mimbar pidato, tetapi implementasi tindakannya ibarat “jauh panggang dari api”. Mereka ngomong “berantas korupsi dan mafia hukum”, tetapi realitas yang terjadi justru proses pembiaran terhadap perilaku-perilaku jahat dan korup. Mereka berteriak “membela wong cilik”, tetapi kenyataan yang terjadi justru peminggiran peran dan penggusuran rakyat kecil di mana-mana. Insitusi pendidikan tak akan banyak maknanya apabila kaum elite kita hanya berada “di atas menara gading kekuasaan”, miskin keteladanan, dan hanya sibuk bermain akrobat untuk mempertahankan kekuasaan semata.
Kedua, memberdayakan guru. Secara jujur harus diakui, profesi guru, semenjak disahkannya UU Guru dan Dosen, menjadi lebih “bergengsi” dan bermartabat. Setidak-tidaknya, guru yang dinyatakan sudah lulus sertifikasi sudah bisa menikmati tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok. Namun, sesungguhnya bukan hanya semata-mata tingkat kesejahteraan yang dibutuhkan guru, melainkan juga pemberdayaan dari ranah kompetensi yang selama ini masih menyisakan tanda tanya. Empat kompetensi –profesional, pedagogik, kepribadian, dan sosial– yang menjadi syarat wajib bagi guru profesional belum sepenuhnya bisa diimplementasikan dalam perilaku dan kinerja guru sehari-hari. Belum lagi persoalan perlindungan dan advokasi terhadap kinerja guru yang dianggap masih lemah, sehingga guru belum sepenuhnya mampu menjalankan peran dan fungsinya secara optimal. Yang tidak kalah penting, guru juga perlu terus diberdayakan dalam soal pengembangan pendidikan karakter lintas-mata pelajaran. Artinya, pendidikan karakter bukan hanya semata-mata menjadi tanggung jawab guru PKn atau Agama saja, melainkan juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kinerja guru secara menyeluruh dan terpadu.
Ketiga, dukungan lingkungan sosial, kultural, dan religi terhadap keberlangsungan pendidikan karakter dalam dunia pendidikan. Di tengah situasi peradaban yang makin abai terhadap nilai-nilai akhlak dan budi pekerti, institusi pendidikan tak bisa sepenuhnya “otonom” dan berjalan sendiri tanpa “intervensi” lingkungan. Segenap elemen bangsa, mulai tokoh masyarakat, agama, hingga media, perlu memberikan dukungan penuh dan optimal terhadap implementasi pendidikan karakter. Media televisi yang selama ini telah menjadi “tuhan” baru di kalangan anak-anak dan remaja perlu menjalankan fungsinya sebagai pencerah peradaban dengan memberikan suguhan dan tayangan yang edukatif. Jangan sampai anak-anak yang tengah “memburu jati diri” dicekoki dengan tayangan sinetron mistik atau entertaintment yang serba glamor, hingga membuat anak-anak bangsa di negeri ini makin kehilangan pegangan dan basis pendidikan karakter dalam hidup dan kehidupannya.
Nah, selamat memeringati Hardiknas 2011, semoga pendidikan karakter yang menjadi tema dan narasi besar tahun ini tak hanya mengapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika belaka! ***

http://sawali.info/2010/05/02/pendidikan-karakter-dan-hardiknas/